Pluralisme dalam Implementasi HAM

Kesadaran akan pentingnya pluralisme di kalangan pemerintah dan masyarakat saat ini nampaknya masih menunjukkan tingkat yang sangat rendah. Bahkan, melihat sejumlah kasus yang terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini, pluralisme secara terus-menerus dilanggar dan dicederai. Bila keadaan ini terus berlajut, maka bisa dipastikan tidak akan ada lagi ruang yang memungkinkan bagi hidupnya perbedaan, keberagaman, dan kebebasan di Indonesia.

Penilaian tersebut bukanlah sebagai upaya dramatisasi. Sebab, fakta menunjukkan upaya-upaya pengingkaran pluralisme bekerja dengan sistematis di semua ruang kehidupan. Di ranah Negara, muncul berbagai kebijakan yang menentang pluralisme mulai dari pusat sampai daerah. Di ranah masyarakat, muncul kelompok yang kerap melakukan pemaksaan kehendak melalui represi dan operasi atas nama kebenaran dan keyakinan yang dianutnya. Situasi ini telah menciptakan ketakutan bagi setiap orang untuk merayakan keberagaman dan mengeskpresikan perbedaannya.

Memang saat ini muncul berbagai pihak yang terus mempromosikan pluralisme sebagai prinsip penting dalam berbangsa dan bernegara, namun hal itu ternyata belum cukup untuk menghilangkan berbagai pengingkaran terhadap pluralisme. Beberapa prinsip penting dalam pluralisme seperti kebebasan dasar (fundamental freedom) terus dilanggar dan dibelenggu, ruang yang memungkinkan hidupnya perbedaan dikekang, serta pengingkaran atas keberagaman sosial berlangsung di mana-mana.

Hal itu tercermin dalam berbagai kasus pelanggaran dan pencederaan terhadap pluralisme yang terjadi di lapangan. Misalnya, pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan yang intensitasnya semakin meningkat, diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas semakin marak, klaim atas kebenaran dan keyakinan yang disertai pemaksaan kehendak melalui kekerasan dan ancaman terhadap kelompok lain semakin biasa terjadi di masyarakat, dan masih banyak lagi kasus-kasus lainnya.

Fakta berbagai kasus itu menunjukkan bahwa pluralisme nampaknya menghadapi berbagai ancaman yang datang dari dua ranah. Pada satu sisi, pluralisme menghadapi ancaman dari ranah Negara, sementara pada sisi lain, pluralisme juga menghadapi ancaman dari ranah masyarakat. Kelompok-kelompok anti-pluralisme melalui kedua ranah tersebut mengancam pluralisme dengan cara-cara yang sistematik.

Masalah menjadi serius ketika Negara terlibat, baik secara tidak langsung melalui proses pembiaran atas kasus-kasus yang terjadi, atau secara langsung melalui kebijakan-kebijakan yang dibuatnya. Aspek pembiaran misalnya terlihat ketika aparat Negara tidak menindak kelompok-kelompok yang melakukan pencedaraan terhadap pluralisme, seperti dalam kasus penuntupan sejumlah tempat ibadah di berbagai tempat. Sementara keterlibatan secara langsung terlihat dalam berbagai kebijakan yang dibuat Negara mulai dari pusat sampai daerah yang mengancam hak-hak dasar individu yang terkait dengan pluralisme.

Potret pelaksanaan kebijakan Negara dan adanya sikap aparat negara seperti itu tentu saja merupakan sebuah ironi. Di tengah gencarnya perbaikan pelaksanaan HAM dan kehidupan berdemokrasi, Negara justru mengeluarkan kebijakan dan bersikap bertolakbelakang dengan HAM dan demokrasi itu sendiri. Hak-hak dasar individu yang semestinya dijamin dan dilindungi oleh Negara malah terus menjadi sasaran pelanggaran.

Beberapa Faktor Penyebab

Setidaknya ada tiga faktor utama yang mendorong buramnya pluralisme di Indonesia. Pertama, belum adanya penerimaan secara total terhadap norma-norma HAM, baik itu di kalangan aktor-aktor Negara maupun masyarakat. Adanya penerimaan HAM yang cenderung setengah hati itu menyebabkan munculnya sikap dan tindakan anti-HAM di kalangan aktor-aktor Negara dan masyarakat. Terlebih lagi ide totaliteristik sebagai warisan rezim otoritarian Orde Baru hingga masih juga berakar kuat kendati rezim tersebut telah runtuh. Ia kini menyelinap dalam berbagai ruang kehidupan.

Kedua, banyaknya pengaruh berbagai penafsiran atas teks-teks keagamaan yang disertai dengan adanya klaim-klaim kebenaran atas pemikiran atau keyakinan yang dianut oleh kelompoknya. Bisa dikatakan, adanya klaim-klaim kebenaran itu sebagai gejala awal merebaknya berbagai sikap intoleran di tengah masyarakat. Sebab, klaim-klaim tersebut tidak jarang dipaksakan oleh kelompok tertentu sebagai kebenaran bagi kelompok lainnya, sehingga akhirnya melahirkan ketegangan hubungan antar berbagai kelompok.

Ketiga, adanya kekeliruan dalam memahami dan memaknai pluralisme sehingga menyebabkan tumbuhnya persepsi negatif terhadap pluralisme. Salah satunya tercermin dalam Fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 Tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama. Fatwa ini tentu saja memiliki dampak. Diakui atau tidak, dalam perkembangannya fatwa tersebut semakin meningkatkan sikap intoleran di masyarakat dan mendorong berbagai kelompok melakukan penceradaan terhadap pluralisme.

Pluralisme dan Hak Asasi Manusia

Jelas, pluralisme tidak bisa dipisahkan dari Hak Asasi Manusia (HAM). Keduanya memiliki hubungan sangat erat dan saling terkait antar satu dengan lainnya. Di dalam pluralisme terkandung beragam jenis hak-hak dasar individu. Karena itu, pengandaian berjalannya pluralisme tentumua mengandaikan pula adanya penghormatan, jaminan dan perlindungan HAM yang memungkinkan bagi setiap individu untuk menikmati hak-hak dasarnya.

Pada ranah keagamaan misalnya, pluralisme tidak mungkin berjalan tanpa jaminan dan perlindungan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai salah satu hak dasar individu. Hal yang sama berlaku di ranah sosiologis, di mana pluralisme tidak ada apabila hak-hak dasar individu seperti hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif, hak kelompok-kelompok minoritas dan hak-hak dasar lainnya tidak dijamin dan tidak dilindungi keberadaannya.

Karena itu, HAM merupakan aspek yang sangat penting dalam pluralisme. Dalam konteks bernegara, hukum HAM mengatur relasi antara Negara dan warganya, bagaimana Negara memperlakukan warganya, menjamin dan melindungi hak-hak dasar warganya. Dalam konteks bermasyarakat, kesadaran dan penerimaan akan norma-norma HAM dapat menjadi faktor penting bagaimana mereka berhubungan antar sesamanya.

Dalam kerangka ini, menegaskan kembali kewajiban Negara yang ditetapkan oleh hukum HAM menjadi penting untuk dilakukan, terutama dalam kaitan pemajuan pluralisme di Indonesia. Hukum HAM secara jelas menegaskan tiga kewajiban Negara, yakni menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fullfil). Namun, apa relevansi antara kewajiban-kewajiban itu dengan pemajuan pluralisme? Sejauh Negara menjalankan kewajiban-kewajiban HAM-nya secara sungguh-sungguh, maka upaya Negara tersebut dapat menjadi babak awal dalam mendorong kemajuan pluralisme.

Apa yang harus dilakukan negara?

Kendati demikian, ada beberapa prinsip yang harus ditaati oleh Negara dalam implementasi kewajiban-kewajiban HAM-nya. Prinsip-prinsip tersebut mengatur batasan-batasan Negara sampai sejauhmana ia menjalankan tiga kewajibannya tersebut. Ketaatan Negara terhadap prinsip-prinsip tersebut menjadi penting untuk memastikan terjamin dan terpenuhinya semua hak-hak dasar individu tanpa terkecuali.

Secara prinsip, hak-hak dasar individu manusia terbagi ke dalam dua rumpun, yakni hak-hak positif (positive rights) dan hak-hak negatif (negative rights). Pengertian positif dan negatif di sini bukan menggambarkan bahwa nilai-nilai "baik" dan "buruk", melainkan menunjuk pada ukuran keterlibatan Negara bagi pemenuhan masing-masing hak tersebut. Yang dimaksud hak-hak positif adalah hak-hak ekonomi sosial dan budaya, yang akan terenuhi bilamana Negara berperan aktif memajukan hak-hak tersebut. Sementara sebaliknya, hak-hak negatif adalah hak-hak sipil dan politik yang akan terpenuhi bilamana Negara mengurangi campur tangannya. Lebih jauh, hak-hak ekonomi sosial dan budaya menyangkut pemenuhan materi, sementara hak-hak sipil dan politik menyangkut pemenuhan kebebasan.

Pembagian rumpun hak-hak dasar itu harus dijadikan pegangan dan harus ditaati oleh Negara dalam implementasi kewajiban HAM-nya. Tanpa adanya ketaatan terhadap pemilahan itu, maka itu justru akan memunculkan potensi tercerabut dan terlanggarnya hak-hak sipil dan politik karena adanya campur tangan Negara, sebagaimana yang selama ini terjadi.

Dalam konteks pemajuan pluralisme, penegasan ukuran keterlibatan Negara dalam implementasi kewajiban HAM-nya menjadi penting. Sebab, hampir semua hak-hak dasar individu yang terkait pluralisme, baik dalam bidang keagamaan atau sosiologis, merupakan bagian dari hak-hak sipil dan politik. Karena itu, hak-hak dasar tersebut masuk dalam ranah hak-hak negatif (negative rights). Misalnya, hak atas kebebasan pribadi, hak atas kebebasan bergerak dan berdiam, hak atas kewarganegaraan, hak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan memeluk agama dan keyakinan, hak atas kebebasan berkespresi, hak kelompok minoritas, hak untuk bebas dari segala bentuk tindakan diskriminasi, dan lain-lain.

Sehingga menjadi jelas, bahwa pluralisme akan semakin maju bilamana Negara mengurangi atau meminimalkan campur tangannya untuk tidak mengurusi atau membuat berbagai aturan yang pada akhirnya berpotensi melanggar hak-hak dasar individu di atas. Dalam kaitan itu, yang harus dilakukan Negara bagaimana menjamin dan memberi perlindungan bagi setiap orang dalam upaya menikmati hak-hak dasarnya tersebut.

Dalam konteks itu, pembuatan dan penerapan berbagai Perda bernuansa agama atau Rancangan Undang-undang Antipornografi dan Pornoaksi, yang muatannya berpotensi membatasi, mengekang serta melanggar hak-hak dasar yang terkait pluralisme merupakan sebuah kekeliruan. Regulasi tersebut merupakan bentuk campur tangan yang terlalu dalam karena ia sampai mengatur ranah pribadi dimana hak-hak dasar itu berada.

Hal yang sama terjadi dalam kasus lainnya. Misalnya, upaya Negara yang hanya mengakui beberapa agama (Islam, Katholik, Kristen, Budha, Hindu dan terakhir Konghucu), sebagai agama yang diakui secara resmi oleh Negara. Lalu, bagaimana dengan aliran kepercayaan lokal yang hanya dipandang sebagai kebudayaan? Padahal aliran-aliran kepercayaan lokal sudah ada jauh sebelum agama-agama itu masuk ke Indonesia. Ini bentuk pelanggaran terhadap prinsip kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Pembatasan pengakuan Negara tersebut tentu tidak bisa dibenarkan karena secara tidak langsung telah menegasikan keberadaan aliran-aliran kepercayaan lokal itu. Bahkan, bisa dikatakan upaya Negara yang masuk ke dalam wilayah itu sebagai langkah yang berlebihan. Apapun bentuk agama atau keyakinan yang dianut oleh sesorang seharusnya dipandang sebagai hak pribadi setiap manusia. Negara tidak boleh campur tangan dengan membuat aturan-aturan yang justru membatasinya.

Bentuk lain keterlibatan yang terlalu jauh dari Negara juga terlihat dengan dibentuknya Direktorat Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat dan Keagamaan (Pakem), yang berada di bawah Kejaksaan Agung. Pakem ini dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung No.KEP-108/JA/5/1984 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat. Sementara, dasar hukum terkait dengan penindakan terhadap aliran-aliran sesat didasarkan pada UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.

Terakhir, dalam kerangka menjamin dan melindungi, Negara melalui aparatnya harus mencegah munculnya tindakan-tindakan yang berpotensi mengancam hak-hak dasar individu yang terkait pluralisme, serta menindak kelompok-kelompok di masyarakat yang melakukan pelanggaran. Terlebih lagi jika kelompok tersebut melakukannya dengan cara-cara kekerasan dan mengakibatkan jatuhnya korban dari pihak yang dilanggar. Jelasnya, Negara tidak boleh berdiam diri dan membiarkan bilamana ada kelompok yang melakukan pemaksaan kehendak, melakukan represi dan operasi dengan mengatasnamakan kebenaran dan keyakinan mereka.

Tulisan ini juga dimuat di situs prakarsa-rakyat.

say no to poligami

Isu poligami menjadi pembicaraan panas, setelah dipicu sebelumnya oleh praktek poligami seperti dilakukan dai kondang, Aa Gim. Jauh sebelum itu, sudah banyak tokoh-tokoh lainnya yang sudah berpoligami, semisal mantan wakil Presiden Hamzah Haz. Belakangan, isu poligami kembali mencuat dan terjadi perdebatan yang keras antara pendukung dan penolak poligami.

Poligami merupakan praktek yang sudah berakar di masyarakat di berbagai belahan di dunia. Jauh sebelum Islam datang, praktek poligami sudah ada. Ketika Islam datang, praktek tersebut juga sudah ada di wilayah Arab. Datangnya Islam itu memang tidak serta merta bisa menghapus poligami, bahkan sebaliknya, poligami seakan mendapat legalisasinya dalam ayat.

Keberadaan ayat poligami itulah yang saat ini menjadi sandaran kelompok yang mendukung poligami. Namun ada kekeliruan mendasar yang dilakukan oleh pendukung poligami dalam melihat ayat ini, yakni bagaimana menafsirkan ayat tersebut secara tepat dan kontekstual.

Bahwa untuk menafsirkan sebuah ayat tidak bisa hanya diihat dari sisi hukumnya saja, apakah halal, mubah atau haram. Ada aspek lain yang mestinya juga dilihat yakni sebab kenapa ayat itu turun (asbabun nuzul). Ha ini menjadi keharusan supaya penafsiran ayat tersebut tidak keluar dari konteksnya.

Bahwa perempuan di masa ketika ayat ini diturunkan berada dalam posisi yang sama sekali tidak dihormati dan tidak dihargai di tengah masyarakat. Aak perempuan yang baru lahir dianggap sebagai aib dan langsung dibunuh. Sementara itu, seorang laki-laki juga boleh menikahi perempuan sebanyak apapun (tanpa batas), dan memperlakukan mereka sebagai barang yang tidak berharga. Pandangan dan perlakuan ini telah menempatkan perempuan berada dalam posisi yang lemah.

Ayat poligami turun dalam situasi dimana praktek poligami berlangsung dengan sekala yang sangat eksesif di masyarakat. Secara prinsip, ayat ini diturunkan dengan maksud untuk merubah praktek poligami yang eksif tersebut. Pertanyaannya, bukankah jumlah empat dalam ayat sama saja dengan masih melegalkan poligami? Kenapa tidak sekalian saja menolaknya?

Bahwa untuk merubah sebuah masyarakat tidak bisa dilakukan secara langsung. Butuh sebuah proses yang berlangung secara pelan-pelan. Hal itu juga berlaku guna memutus praktek poligami yang sudah ada jauh sebelum Islam datang. Jumlah empat dalam ayat adalah batas maksimal yang bisa ditolerir dari yang sebelumnya boleh berapa saja, dan itupun disertakan dengan syarat dapat berlaku adil.

Dari sini, jika melihat konteks turunnya ayat ini sesungguhnya memiliki spirit bagaimana mendorong adanya penghormatan dan penghargaan terhadap perempuan. Melihat ayat ini hanya dari segi hukum akan menyebabkan kehilangan konteksnya. Spirit penghormatan dan penghargaan terhadap perempuan inilah yang harus dibawa dalam menafsirkan ayat ini di masa sekarang.

Bahwa spirit penghormatan dan penghargaan terhadap perempuan sekarang ini berbasiskan pada HAM dan hak-hak perempuan. Di mana hubungan laki-laki dan perempuan mengharuskan adanya kesetaraan kedudukan, hubungan yang bersifat patriarki harus dihapuskan, laki-laki tidak bisa lagi mensubordinasi perempuan, dan lain-lain. Dalam kacamata inilah seharusnya ayat poligami dimaknai.

Jika dicermati, kendati ayat tersebut menunjukkan bahwa seseorang "boleh saja" berpoligami dengan syarat mampu dan bisa bersikap adil, namun adanya syarat tersebut justru mencerminkan bahwa ayat tersebut nampak lebih memiliki makna "tidak boleh". Sebab tidak ada seorang pun yang bisa menjamin bahwa dirinya itu mampu dan bisa bersikap adil.

Lebih dari itu, jika kita mendasarkan pada satu qo'idah usul fiqh bahwa hukum itu bisa berputar; ia bisa jadi haram, halal atau mubah, sesuai dengan konteks alasan yang menyertainya. Dalam hal ini, poligami bisa saja haram jika praktek tersebut justru menyebabkan kerugian dan kerusakan. Wallahu 'alam