Pelanggaran terhadap Kebebasan Beragama

Tindakan menutup gereja seperti terjadi di Bandung beberapa waktu yang lalu, tidak sepatutnya dilakukan oleh orang yang dirinya mengaku beragama dan beradab. Penutupan tersebut telah melanggar prinsip kebebasan beraga ma dan berkeyakinan yang diakui di Indonesia dan mengancam keharmonisan hubungan di antara para pemeluknya.

Sebagai pribadi muslim, memandang tindakan menutup gereja tidak mencerminkan sikap dan tindakan selayaknya seorang muslim yang baik dan taat. Mereka tidak memahami makna ajaran Islam secara baik dan benar, yang mengharuskan adanya penghormatan dan penghargaan terhadap agama dan keyakinan orang lain. Setiap orang boleh meyakini bahwa agamanya yang benar. Namun, tidak lantas hal itu membenarkan dirinya untuk memaksakan keyakinannya pada orang lain, apalagi dengan menutup paksa rumah ibadah agama lain.

Klaim sebagai pemeluk agama mayoritas dalam satu daerah tidak dibenarkan untuk bertindak sewenang-wenang pada pemeluk agama lain yang minoritas. Inti rumah ibadah adalah ruang untuk memuja Tuhan-- apapun itu agamanya. Karena itu, sudah seharusnya setiap orang dapat menghormati rumah ibadah tersebut. Selain itu, tidak seharusnya juga pendirian rumah ibadah dibatasi oleh perizinan dan batasan lainnya. Peraturan perizinan tersebut telah melanggar kebebasan beragama dan berkeyakinan

Nikah Beda Agama

Nikah beda agama seringkali menjadi persoalan dan perdebatan di tengah-tengah masyarakat. Tidak sedikit bagi mereka yang menikah beda agama karena ketiadaan ruang akhirnya mereka melangsungkan pernikahannya di luar negeri atau statusnya tidak diakui baik oleh negara atau oleh agama. Namun demikian, seiring dengan perjalanan waktu ternyata makin banyak saja orang-orang yang ingin melangsungkan pernikahan dengan pasangannya yang berbeda secara agama.

Bagi kalangan muslim, perdebatan boleh dan tidak boleh mengenai nikah beda agama terletak pada persoalan apakah pemeluk agama samawy (Yahudi dan Kristen) masih disebut ahlul kitab atau bukan. Kelompok yang menentang berpendapat mereka bukan lagi ahlul kitab sejak diutusnya Nabi Muhammad SAW. Sebaliknya, kelompok lain berpendapat mereka sampai saat ini tetap sebagai ahlul kitab, sehingga menikahi mereka itu dibolehkan.

Adanya sebagian kalangan yang memandang bahwa telah adanya penyimpangan ajaran di luar agama Islam, bukankah pada masa Nabi Muhammad SAW hal itu juga telah terjadi. Lalu, pertanyaannya, kenapa pada suatu kali Nabi pernah membolehkan sahabatnya untuk menikahi mereka (ahlul kitab). Dengan demikian, pandangan tersebut tentunya tidak bisa dijadikan sebagai alasan kuat untuk melarang nikah beda agama.

Cinta adalah hakekat dan sesuatu yang agung serta bersifat universal yang merupakan manifestasi dari spirit ilahiayah yang harus ditanamkan di muka bumi. Karena itu, cinta tidak bisa dibatasi oleh adanya perbedaan di antara dua insan, baik itu perbedaan suku, agama, warna kulit, harta atau jabatan. Dalam cinta tidak ada belenggu dan yang dipandang dalam cinta adalah sisi kemausiaannya bukan latarbelakangnya.

Nikah Mut'ah

Persoalan tentang nikah mut'ah sampai sekarang ini tidak pernah kunjung selesai menjadi bahan diskusi dan debat di kalangan masyarakat muslim di dunia termasuk di Indonesia. Namun secara umum, masyarakat muslim Indonesia yang umumnya adalah penganut madzhab syafi'i berpandangan bahwa model nikah tersebut tidak dibolehkan atau jelasnya diharamkan oleh agama.

Di Indonesia, nikah mut'ah itu lazim disebut dengan nikah atau kawin kontrak. Bagi pihak yang menentang, nikah mut'ah dianggap sebagai model nikah "main-main" hanya untuk menutupi praktek zinah. Sementara bagi sebagain kalangan lainnya, nikah mut'ah dianggap legal secara syariat dan pernah dipraktekan pada masa nabi dan sampai hari ini belum ada ketentuan kuat yang menghapuskannya.

Nikah mut'ah tidak memiliki perbedaan yang mencolok dengan model nikah yang biasa diterapkan oleh masyarakat muslim di Indonesia. Nikah mut'ah juga mengharuskan adanya mahar, saksi, ijab-kabul serta wali yang menjadi syarat pernikahan. Cuman yang membedakan hanya persoalan adanya jangka waktu (muaqqotan), semisal nikah untuk jangka 4 bulan.

Negeri Para Penyamun

Mengagetkan saat Mahkamah Agung (MA) pada akhir 2006 lalu membebaskan terdakwa pollycarpus dari pembunuhan terhadap aktivis HAM Munir dan hanya dijerat pemalsuan surat dengan hukuman 2 tahun penjara. Seperti diketahui sebelumnya, Pollycarpus yang diduga sebagai salah satu pelaku lapangan dari pembunuhan terhadap aktivis HAM Munir telah divonis 14 tahun penjara oleh pengadilan negeri jakarta pusat, dan kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi.

Bebasnya pollycarpus ini, entah ini kasus yang ke berapa kali, mencerminkan masih bobroknya penegakkan hukum di Indonesia. Nurani para penegak hukum hingga hari ini masih tidak berpihak pada keadilan rakyat yang menjadi korban. Hampir semua pelaku pelanggaran HAM di Indonesia, mulai dari Aceh, Timor-Timor, Papua, Tanjung Priok atau Talangsari, masih berkeliaran bebas tanpa hukuman. Sebagian dari mereka dibebaskan di pengadilan.

Kemanakah kita bisa mengadu dan mencari keadilan di tengah sistem peradilan yang bobrok ini? Masih adakah segilintir dari para penegak hukum yang berpihak pada keadilan dan korban? Andai kaki dan tangan ini bisa bergerak melampaui batas aturan yang ada, niscara kita tidak akan mempercayakan langkah mencari keadilan ini kepada mereka yang moral dan perilakunya busuk dan korup.

Belajar dari Sahabat Umar

Bagi umat Islam, Umar Bin Khattab bukan nama yang asing lagi. Selain sebagai salah satu sahabat dekat Nabi Muhammad SAW, ia juga dikenal sebagai khalifah kedua setelah Abu Bakar Siddiq. Umar adalah sosok pribadi yang dikenal sangat keras dan teguh memegang prinsip, serta memiliki rasa kepedulian yang sangat tinggi terhadap nasib orang-orang miskin. Hal itu telah dibuktikannya meskipun dirinya telah menjadi seorang khalifah.

Di bulan Ramadhan ini sekiranya menjadi penting untuk melihat dan belajar bagaimana sikap yang ditunjang oleh perbuatan dari sosok yang bernama Umar Bin Khattab ini. Dalam kepemimpinannya semasa menjadi khalifah, ia tidak segan untuk turun ke bawah memantau secara langsung bagaimana kehidupan rakyatnya. Bahkan, ia mengulurkan tangannya sendiri untuk membantu rakyatnya. Tentu ini merupakan suatu sikap dan sekaligus perbuatan yang seharusnya ditiru oleh para pemimpin dan pejabat di Indonesia.

Dalam satu kisah misalnya, Umar diam-diam berkeliling saat malam hari. Ia melihat di sebuah rumah ada seorang wanita sedang memasak sesuatu, sedangkan dua anak perempuan duduk di sampingnya sambil berteriak minta makan. Kepada Umar, wanita itu menjelaskan kalau kedua anaknya lapar, sedangkan di ceret itu tidak ada apa-apa selain air dan batu. Itu dilakukan sebagai cara untuk menenangkan kedua anaknya agar percaya bahwa makanan sedang disiapkan. Tanpa menunjukkan identitasnya sebagai khalifah, Umar bergegas kembali ke Madinah yang berjarak tiga mil dan kembali dengan memikul sendirian sekarung terigu.

Lebih lanjut, Khalifah Umar kemudian memasakannya sendiri, dan ia baru berhenti setelah melihat kedua anak perempuan itu makan dan kenyang. Pada keesokan harinya, Umar berkunjung kembali ke rumah itu, dan sambil meminta maaf kepada wanita itu sambil meninggalkan sejumlah uang sebagai sedekah kepadanya.

Kisah itu semestinya memberikan satu pelajaran penting bagaimana seorang pemimpin atau pejabat harus memperlakukan rakyatnya, terutama orang-orang fakir miskin yang ada dalam kekuasaannya. Seorang penguasa tidak boleh lupa bahwa kekuasaan yang diembannya merupakan amanah yang harus dipertanggungjawabkan. Dalam konteks Indonesia sebagai negara demokrasi, amanah kekuasaan tersebut harus dijalankan sebagai sarana untuk memperjuangkan kepentingan rakyatnya.


Tuhan tidak Butuh Pembelaan

Kadang kita melihat banyak orang melakukan kekerasan, pembunuhan dan bahkan peperangan dengan menyebut dan membela nama Tuhan dengan mati-matian. Jika ada seseorang atau sekelompok orang yang dianggap menghina Tuhan, maka banyak orang yang kemudian menjadi marah, melakukan kekerasan, dan tidak jarang menghunus pedang dan mengalirkan darah di muka bumi ini. Mereka membela mati-matian Tuhan-nya. Mungkinkah Tuhan itu perlu dibela jika ada yang menghina, mencerca, atau meremehkannya? Sungguh ini sebuah kengerian yang sangat luar biasa, ternyata "Tuhan" menjadi problem atas kemanusiaan. Atau jangan-jangan, ini hanya akibat kekeliruan bagaimana kita menempatkan eksistensi Tuhan.

Tuhan adalah "dzat" yang memiliki sifat "ke-maha-an", yang memiliki kuasa atas jagat alam raya beserta seluruh isinya. Ia adalah Maha Agung, Maha Besar, Maha Kuasa, Maha Kuat, Maha Penyayang, Maha Pemurah, Maha Pemaaf, dan banyak lagi sifat "Maha-maha" lainnya. Lalu, dengan sifat "Ke-maha-an" itu lantas apakah Tuhan membutuhkan bantuan atau pertolongan dari "selain diriNya"? Tentu tidak jawabannya, karena itu Tuhan Maha Kuasa. Dari sini, kalau kita melihat banyak orang marah kepada orang lain karena dianggap telah menghina dan merendahkan Tuhan, maka secara tidak langsung ia sudah mengingkari sifat-sifat Tuhan dengan segala Ke-maha-anNya. Bagaimanapun dipandang, Tuhan akan tetap dengan Ke-maha-anNya. Ia tidak butuh manusia untuk menjaga nama baik-Nya.

Dalam Al-Qur'an sudah jelas dikatakan bahwa Tuhan sudah memiliki "mekanisme" tersendiri untuk memberikan "balasan" bagi setiap manusia selama hidupnya. Kebaikan akan dibalas dengan kebaikan, sementara kejahatan dan keburukan juga akan ada balasannya sendiri. Biarlah hukum Tuhan itu yang mengaturnya. Manusia tidak boleh dan tidak bisa melampaui batas-batas itu. Tugas manusia sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur'an, adalah bagaimana menjadi khalifatullah atau wakil Tuhan yang baik di bumi untuk menyampaikan semua pesan-pesannya. Perintah Tuhan itu di antaranya adalah, bagaimana kita berbuat baik antar sesama, tidak melakukan kejahatan, membangun kedamaian, berbuat adil, dan lain-lain.

Merubah Pendekatan Keamanan atas Papua

Pasca Aceh meretas jalan perdamaian, maka area implementasi pendekatan keamanan akan bergeser ke wilayah konflik lainnya di Indonesia, terutama Papua yang memiliki karakteristik konflik serupa. Pendekatan ini memang telah digunakan sejak tahun-tahun sebelumnya di Papua, namun akan mengalami peningkatan karena area “permainan” militer di Aceh telah berkurang. Ini adalah suatu prediksi terkait pola penanganan daerah-daerah konflik di Indonesia di masa awal jalannya kekuasaan pemerintahan SBY-Kalla dulu (Lihat Catatan HAM Imparsial Tahun 2005).

Perkembangan terakhir menunjukkan prediksi itu menemukan kebenarannya, di mana penanganan Papua menjadi prioritas kebijakan dibandingkan dengan daerah bergolak lainnya. Kendati demikian, capaian perdamaian di Aceh yang diharapkan dapat memberikan efek positif dalam penanganan daerah konflik lain di Indonesia nampak tidak tertular ke Papua. Jika Aceh menempuh dialog sehingga tercipta perdamaian, namun untuk Papua, pendekatan keamanan masih digunakan sebagai garda terdepan. Sementara aspek lainnya tidak lebih hanya sebatas “hiasan” semata karena cenderung dijalankan setengah hati.

Pendekatan keamanan adalan sebuah pendekatan yang melihat segala persoalan yang terjadi di tengah masyarakat sebagai persoalan keamanan, sehingga harus diselesaikan dengan melalui penegakan keamanan. Padahal tidak semua persoalan di masyarakat tersebut sebagai persoalan keamanan. Karena bisa saja akar persoalannya bersumber pada persoalan ekonomi atau politik. Dalam satu daerah yang terus-menerus bergolak seperti Papua, pendekatan keamanan menempatkan aktor keamanan terutama militer, sebagai aktor utama untuk penyelesaiannya. Maka kemudian dikirimlah sejumlah pasukan ke wilayah bergolak tersebut.

Lebih lanjut, pola inilah yang berlaku di Papua. Dalam perkembangannya, kehadiran militer memang semakin terasa hampir di semua wilayah Papua. Militer bukan hanya dekat tapi sudah berada di tengah masyarakat. Kenyataan ini dapat dilihat dalam dua hal; Pertama, terjadinya pengiriman pasukan TNI dari luar Papua (non-organik) untuk menambah jumlah pasukan yang sudah ada sebelumnya. Sejak awal 2006 misalnya, upaya pengiriman ini begitu intensif dilakukan oleh Mabes TNI. Pada bulan April tercatat ada empat kali pengiriman satuan TNI non-organik secara besar-besaran ke Papua dengan alasan untuk menumpas gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Kedua, terjadinya peningkatan aktivitas militer di wilayah Papua, mulai dari operasi militer terhadap kelompok yang dicap sebagai separatis, sampai aktivitas yang berbau sosial. Operasi keamanan adalah aktivitas yang secara rutin dilakukan dalam konteks pendekatan keamanan. Bentuknya bisa beragam, mulai dari operasi intelijen, operasi penyergapan. Sementara untuk aktivitas yang berbau sosial, hal itu dapat dilihat pada upaya penggalakan program TNI Manunggal Masuk Desa (TMMD) di sejumlah desa di Papua. Prajurit TNI begitu aktif memasuki perkampungan dan membangun sarana sosial seperti membuat, jalan, jembatan, dan lain-lain.

Pelaksanaan program TMMD ini tentunya memiliki maksud dan tujuan sebagaimana di masa Orde Baru yang dikemas dalam program ABRI Masuk Desa (AMD). Kendati bentuknya adalah kegiatan sosial, namun tetap saja itu bagian yang tak terpisahkan dari pendekatan keamanan. Tujuan dari penggalakan program ini antara lain berupaya membangun ketergantungan masyarakat terhadap TNI, dan yang lebih penting lagi, melalui kegiatan tersebut TNI langsung dapat melakukan kontrol terhadap semua sektor kehidupan masyarakat di desa-desa. Jelasnya, TMMD di Papua adalah bentuk lain dari pendeketan keamanan yang berbaju sosial.

Dampak dari Pendekatan Keamanan

Selama ini penggunaan pola pendekatan keamanan dalam menangani sejumlah daerah konflik terbukti tidak berhasil. Pola tersebut bukannya menyelesaikan masalah, malah sebaliknya pola itu semakin memupuk keadaan konflik di daerah sehingga konflik tersebut menahun dan semakin sulit untuk dicarikan penyelesaiannya. Sebab, dalam situasi di mana militer lebih banyak bicara melalui operasi-operasi kemanan, maka cara tersebut tidak lebih hanya menimbulkan persoalan-persoalan bagi masyarakat. Kedamaian bukannya dicapai, melainkan rasa tidak amanlah yang dirasakan oleh masyarakat.

Pengalaman Aceh menjadi contoh terdekat akan kegagalan pendekatan keamanan. Sebaliknya, perdamaian yang kini berjalan di Aceh merupakan suatu pencapain yang diraih tidak melalui pendekatan keamanan. Hal yang sama berlaku untuk wilayah Papua, yang nota bene memiliki tipologi konflik serupa dengan Aceh, yakni konflik vertikal –konflik yang terjadi antara negara dan masyarakat. Di mana model konflik ini bersumber pada ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah sebagai akibat dari kebijakannya yang tidak memihak masyarakat dan ketidakadilan yang secara terus-menerus dialami oleh mereka.

Penggunaan pendekatan keamanan tentu bukan pilihan tepat dalam menangani atau menyelesaikan tipologi konflik seperti itu. Sebab, model pendekatan inilah yang mendorong terjadinya siklus kekerasan dan bencana kemanusiaan yang tidak pernah berakhir. Pasca Aceh berhasil mencapai tahap perdamaian dan memberikan sebuah harapan baru bagi masyarakatnya, semestinya pola pendekatan keamanan sudah harus ditanggalkan. Konflik bukannya berakhir tetapi semakin berakar kuat karena aktor-aktornya bergenerasi. Selain itu, penggunaan pendekatan ini juga berdampak pada terjadinya tragedi kemanusiaan.

Fakta menunjukan penggunaan bahwa pendekatan keamanan di Papua tidak lebih hanya menimbulkan berbagai pelanggaran hak asasi manusia di berbagai tempat. Masyarakat kerap menjadi sasaran ancaman dan tindakan kekerasan oleh prajurit TNI. Dalam kasus masa lalu mislanya, terjadi kasus pembunuhan terhadap Theys Hiyo Eluay Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) oleh Kopassus Tribuana. Sementara hingga sekarang ini, kasus-kasus seperti ancaman pembunuhan, teror, dan kekerasan juga masih banyak terjadi. Dengan terus diintensifkannya pendekatan keamanan, potensi pelanggaran hak asasi manusia akan semakin besar terjadi di Papua.

Menuju Pendekatan yang Lebih Beradab

Pemerintah nampaknya tidak pernah belajar dari kesahalan masa lalu dan capaian perdamaian yang sekarang ini sudah berjalan di Aceh. Berlanjutnya pendekatan keamanan atas Papua mencerminkan kalau pemerintah lebih tunduk pada keinginan militer dalam penyelesaian kasus konflik meskipun biaya yang harus dikeluarkan sangat mahal, seperti pemenuhan anggaran bagi TNI dan dampak kemanusiaan.

Semestinya pemerintah untuk melihat bagaimana persoalan Papua secara sebenarnya. Terjadinya gerakan perjuangan yang diimplementasikan dalam berbagai bentuk oleh masyarakat seharusnya itu dipandang sebagai bentuk koreksi atas kebijakan pemerintah terhadap Papua selama ini. Dalam konteks ini, pemerintah harus menyadari bahwa gejolak di Papua adalah akibat kekeliruan dalam kebijakan yang dibuatnya. Sebab, yang selama ini terjadi Papua adalah ketidakadilan dan peminggiran hak-hak dasar hampir di semua ruang kehidupan masyarakatnya.

Yang menjadi kebutuhan saat ini bagaimana pemerintah bisa mendengarkan dan mengakomodasi suara-suara masyarakat Papua. Adanya kepentingan negara untuk menjaga keutuhan NKRI tidak lantas menjadi dasar mengebiri kepentingan masyarakat. Untuk itu, dibutuhkan sebuah pendekatan yang konstruktif dan lebih beradab sehingga tujuan menyelesaikan persoalan Papua dalam kerangka menjamin terpenuhinya kepentingan masyarakat Papua bisa tercapai. Pendekatan keamanan yang sekarang ini sedang berjalan tidak lebih hanya akan mengakibatkan konflik semakin jauh dari upaya penyelesaian.

Pendekatan yang konstruktif dan lebih beradab ini menempatkan individu warga negara sebagai manusia yang memiliki hak-hak dasar yang dijamin dan dilindungi oleh negara. Sebab, hanya dengan cara inilah setiap individu warga dapat menjadi manusia seutuhnya. Sebuah jalan untuk menuju itu adalah menggunakan mekanisme dialog yang dilakukan secara terbuka antara negara dengan warganya. Jalan ini mengedepankan komunikasi terbuka yang melandaskan pada kejujuran dan keinginan untuk menyelesaikan persoalan Papua dalam kerangka keberpihakan pada masyarakat Papua. Bukan pemilik modal ataupun militer.

Jika dibandingkan pendekatan keamanan yang menggelar pasukan militer secara besar-besaran, jalan dialog ini tidak membutuhkan pengeluaran biaya yang sangat besar. Sebab, yang dibutuhkan dalam pendekatan ini adalah komitmen dan konsistensi pemerintah untuk menjalankannya. Lebih lanjut, dialog tersebut harus melibatkan semua elemen yang ada di Papua tanpa terkecuali. Kendati demikian, satu syarat sebelum menempuh jalan tersebut pemerintah harus membatasi gelar dan aktivitas militer di Papua, yang diwujudkan dengan menarik semua aparat keamanan non-organik dari Papua.

Tulisan ini dimuat di situs fokerlsmpapua.


Perda Anti Orang Miskin

Keluarnya Peraturan Daerah tentang Ketertiban Umum (Perda Tibum) yang baru, untuk menggantikan Perda tentang Ketertiban Umum yang lama No. 11/1988, merupakan cermin dari kebijakan Pemprov DKI Jakarta yang sangat jauh dari rasa keadilan masyarakat. Betapa tidak, upaya untuk menciptakan ketertiban di Jakarta dilakukan dengan mengabaikan kepentingan kelompok masyarakat miskin. Hal itu dapat dilihat pada sejumlah ketentuan larangan yang tercantum dalam Perda tersebut.

Perda Tibum memuat 101 larangan. Di antara ketentuan yang paling disorot adalah larangan bagi setiap penduduk untuk menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil di tempat umum. Selain itu, ada juga larangan untuk menjadi joki 3 in 1, pengatur lalu lintas ilegal atau “pak ogah”, menjadi PSK, serta larangan pengidap penyakit yang meresahkan masyarakat untuk memasuki tempat umum. Tentu, masih banyak lagi ketentuan larangan lainnya yang itu berhubungan dengan kelanjutan hidup masyarakat.

Lebih dari itu, Perda tersebut juga memuat ketentuan sanksi yang akan dikenakan kepada para pelanggarnya. Bentuknya beragam, mulai sanksi yang berupa denda, sampai kurungan dalam penjara.


Jika dikaji, muatan Perda itu menunjukkan bahwa Pemprov nampaknya lebih mementingkan terciptanya ketertiban di Jakarta daripada memikirkan nasib hidup masyarakat miskin. Persoalannya bukan tidak menginginkan ketertiban itu, tetapi lebih pada apakah sebelum membuat Perda itu Pemprov telah menjalankan kewajiban untuk menjamin tersedianya lapangan pekerjaan yang lebih layak? Fakta banyak masyarakat miskin perkotaan yang mengais rezeki di jalanan atau tempat umum lain, menunjukkan bahwa kewajiban tersebut selama ini tidak jalankan.


Bagi masyarakat miskin, mengais rezeki di jalanan atau tempat umum lain agar bisa bertahan hidup adalah pilihan satu-satunya. Sebab, mereka tidak memiliki alternatif lain yang lebih baik. Sementara kebutuhan hidup mereka tidak bisa ditunda-tunda pemenuhannya. Jika mereka bisa memilih, tentu tidak ada yang akan memilih menjadi orang miskin dan mencari nafkah di jalanan. Dengan kata lain, jika terbuka kesempatan lain yang lebih baik dan dapat diakses, tentu mereka tidak akan menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, atau menjadi PSK.


Dalam kerangka ini, sangat tidak bijak melihat apa yang akan dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta itu. Di satu sisi, mereka akan melakukan penertiban paksa terhadap bentuk apapun usaha masyarakat miskin mengais rezeki di jalanan ataupun tempat umum lainnya, namun di sisi lain, mereka tidak melakukan upaya apapun sebelumnya yang memungkinkan masyarakat miskin ini mempunyai alternatif pilihan pekerjaan yang lebih baik guna menyambung hidupnya.


Kebijakan Pemiskinan


Dalam konteks ini, Pemprov DKI Jakarta cenderung menyalahkan masyarakat miskin sebagai faktor penyebab ketidaktertiban di Jakarta. Hal itu misalnya dapat dilihat dari pernyataan Sutiyoso itu sendiri selaku Gubernur DKI, di mana ia mengatakan bahwa Perda Tibum dibuat akibat pengamen dan pengemis overload. Cara pandang ini sekiranya juga tertanam di kalangan anggota DPRD DKI Jakarta yang mengesahkan Perda Tibum. Jelas, mereka tidak bisa membaca akar persoalan sebenarnya.


Upaya menyalahkan masyarakat sebagai biang ketidaktertiban tersebut tentu sangat keliru dan tidak tepat. Jika dikaji, persoalan sesungguhnya terletak pada kegagalan Pemprov itu sendiri dalam menata wilayah dengan baik. Yang lebih penting lagi, karena ketidakmampuan mereka dalam menciptakan peluang-peluang kerja yang lebih baik bagi masyarakatnya.


Jadi, yang seharusnya disorot terkait ketidaktertiban di Jakarta dan banyaknya masyarakat miskin yang mengais rezeki di jalanan, adalah bagaimana Pemprov DKI Jakarta dapat segera menyediakan lapangan pekerjaan yang lebih banyak dan layak bagi masyarakatnya. Sehingga sangat tidak bijak jika persoalan tersebut disalahkan kepada masyarakat miskin dan menghukum mereka seberat-beratnya demi terciptanya ketertiban itu.


Lebih jauh, apakah Pemprov sebelumnya berpikir lebih jauh mengenai konsekuensi yang akan ditimbulkan ketika masyarakat miskin perkotaan yang kini menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan lain-lainnya, setelah mereka dipaksa untuk tidak berlalu-lalang mengais rezeki di jalanan atau tempat umum lain? Mengingat hanya usaha di jalanan itulah yang dapat dilakukan kelompok masyarakat ini dalam upaya mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari mereka.


Dari situ, dapat dilihat bahwa Perda tersebut sebenarnya akan menyebabkan persoalan di Jakarta akan semakin kompleks. Di mana salah satu dampak dari penerapannya adalah munculnya ribuan pengangguran baru di Jakarta.


Sementara bagi kelompok masyarakat miskin perkotaan itu sendiri, penerapan Perda tersebut bagaikan lonceng kematian. Betapa tidak, di tengah kesulitan untuk mengakses sumber penghidupan lain yang lebih layak, Pemprov justru menutup akses terhadap usaha yang digelutinya selama ini. Jelas, upaya Pemprov tersebut merupakan ancaman bagi kehidupan mereka.


Pada akhirnya, penerapan Perda ini akan mempengaruhi kondisi ekonomi kelompok masyarakat miskin di Jakarta. Dengan kata lain, kebijakan itu tidak lebih hanya akan menyebabkan terjadinya degradasi tingkat kesejahteraan ribuan keluarga masyarakat miskin di Jakarta. Sekarang ini saja mereka sudah hidup miskin karena keterbatasan sumber ekonomi. Ditambah dengan kebijakan ini, maka Pemprov sama saja dengan mendorong mereka ke dalam kemiskinan yang semakin luar biasa.


HAM dan Kewajiban Konstitusional


Sudah semestinya Pemprov DKI Jakarta membatalkan rencana penerapan Perda Tibum yang bermasalah itu. Selain tidak akan menyelesaikan persoalan, justru sebaliknya Perda tersebut menimbulkan persoalan lain yang jauh lebih kompleks. Yang harus lebih difokuskan sekarang ini adakah bagaimana menciptakan banyak kesempatan kerja yang lebih layak dan dapat diakses oleh masyarakat miskin perkotaan. Sebab, di sinilah letak persoalan sebenarnya.


Lebih lanjut, jika lapangan kerja yang lebih layak bagi masyarakat miskin ini sudah terpenuhi dan tersedia, maka sudah barang tentu, dengan sendirinya mereka tidak akan mencari nafkah di jalanan atau tempat umum lain tanpa harus menunggu kehadiran Perda Tibum.


Pilihan fokus yang harus dilakukan ini tentu saja selaras dengan apa yang sudah ditegaskan oleh Konstitusi, yakni mengenai kewajiban negara untuk menjamin dan memenuhi hak-hak dasar wargnya. Dalam kaitan itu, Konstitusi secara jelas telah menegaskan bahwa adalah hak setiap orang untuk mendapatkan penghidupan yang layak, hak setiap orang atas kehidupan yang sejahtera, hak setiap orang untuk bekerja. Selain itu, juga ditegaskan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.


Dalam kaitan itu, sebagai hukum tertinggi tentu saja Konstitusi harus ditaati dan menjadi dasar atau rujukan dalam setiap kebijakan yang akan dibuat oleh pemerintah, mulai dari pusat sampai daerah (Pemda). Mengabaikan ketentuan dalam konstitusi sama saja dengan melawan perintah Konstitusi.


Pertanyaannya, kenapa negara (pemerintah) yang menjalankan kewajiban itu dan kenapa bukan si pemilik hak yang mengusahakannya sendiri? Setiap individu memiliki keterbatasan untuk bisa menjamin terpenuhi hak-haknya. Keterbatasan itu antara lain karena individu tidak dapat melakukan upaya-upaya paksa seperti penghukuman, atau pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya seperti ketersediaan jaminan sosial dan sebagainya. Dengan kata lain, individu tidak memiliki otoritas, legitimasi, dan instrumen guna menjamin dan memenuhi itu semua.


Jika individu memilikinya, atau mengupayakan penjaminan dan pemenuhan hak-haknya secara sendiri-sendiri, maka jelas akan menimbulkan persoalan berupa kemungkinan terjadinya kekacauan. Bahkan, bisa saja akan terjadi peperangan antara mereka. Sebab, setiap individu akan menggunakan caranya sendiri-sendiri serta akan memaksakan kehendaknya masing-masing.


Berbeda halnya dengan negara yang memang memiliki itu semuanya. Jadi, di sinilah letak pentingnya negara (pemerintah) yang memikul tanggungjawab dalam upaya menjamin, melindungi dan memenuhi hak asasi setiap warganya.