Belajar dari Sahabat Umar

Bagi umat Islam, Umar Bin Khattab bukan nama yang asing lagi. Selain sebagai salah satu sahabat dekat Nabi Muhammad SAW, ia juga dikenal sebagai khalifah kedua setelah Abu Bakar Siddiq. Umar adalah sosok pribadi yang dikenal sangat keras dan teguh memegang prinsip, serta memiliki rasa kepedulian yang sangat tinggi terhadap nasib orang-orang miskin. Hal itu telah dibuktikannya meskipun dirinya telah menjadi seorang khalifah.

Di bulan Ramadhan ini sekiranya menjadi penting untuk melihat dan belajar bagaimana sikap yang ditunjang oleh perbuatan dari sosok yang bernama Umar Bin Khattab ini. Dalam kepemimpinannya semasa menjadi khalifah, ia tidak segan untuk turun ke bawah memantau secara langsung bagaimana kehidupan rakyatnya. Bahkan, ia mengulurkan tangannya sendiri untuk membantu rakyatnya. Tentu ini merupakan suatu sikap dan sekaligus perbuatan yang seharusnya ditiru oleh para pemimpin dan pejabat di Indonesia.

Dalam satu kisah misalnya, Umar diam-diam berkeliling saat malam hari. Ia melihat di sebuah rumah ada seorang wanita sedang memasak sesuatu, sedangkan dua anak perempuan duduk di sampingnya sambil berteriak minta makan. Kepada Umar, wanita itu menjelaskan kalau kedua anaknya lapar, sedangkan di ceret itu tidak ada apa-apa selain air dan batu. Itu dilakukan sebagai cara untuk menenangkan kedua anaknya agar percaya bahwa makanan sedang disiapkan. Tanpa menunjukkan identitasnya sebagai khalifah, Umar bergegas kembali ke Madinah yang berjarak tiga mil dan kembali dengan memikul sendirian sekarung terigu.

Lebih lanjut, Khalifah Umar kemudian memasakannya sendiri, dan ia baru berhenti setelah melihat kedua anak perempuan itu makan dan kenyang. Pada keesokan harinya, Umar berkunjung kembali ke rumah itu, dan sambil meminta maaf kepada wanita itu sambil meninggalkan sejumlah uang sebagai sedekah kepadanya.

Kisah itu semestinya memberikan satu pelajaran penting bagaimana seorang pemimpin atau pejabat harus memperlakukan rakyatnya, terutama orang-orang fakir miskin yang ada dalam kekuasaannya. Seorang penguasa tidak boleh lupa bahwa kekuasaan yang diembannya merupakan amanah yang harus dipertanggungjawabkan. Dalam konteks Indonesia sebagai negara demokrasi, amanah kekuasaan tersebut harus dijalankan sebagai sarana untuk memperjuangkan kepentingan rakyatnya.


Tidak ada komentar: