Perda Anti Orang Miskin

Keluarnya Peraturan Daerah tentang Ketertiban Umum (Perda Tibum) yang baru, untuk menggantikan Perda tentang Ketertiban Umum yang lama No. 11/1988, merupakan cermin dari kebijakan Pemprov DKI Jakarta yang sangat jauh dari rasa keadilan masyarakat. Betapa tidak, upaya untuk menciptakan ketertiban di Jakarta dilakukan dengan mengabaikan kepentingan kelompok masyarakat miskin. Hal itu dapat dilihat pada sejumlah ketentuan larangan yang tercantum dalam Perda tersebut.

Perda Tibum memuat 101 larangan. Di antara ketentuan yang paling disorot adalah larangan bagi setiap penduduk untuk menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil di tempat umum. Selain itu, ada juga larangan untuk menjadi joki 3 in 1, pengatur lalu lintas ilegal atau “pak ogah”, menjadi PSK, serta larangan pengidap penyakit yang meresahkan masyarakat untuk memasuki tempat umum. Tentu, masih banyak lagi ketentuan larangan lainnya yang itu berhubungan dengan kelanjutan hidup masyarakat.

Lebih dari itu, Perda tersebut juga memuat ketentuan sanksi yang akan dikenakan kepada para pelanggarnya. Bentuknya beragam, mulai sanksi yang berupa denda, sampai kurungan dalam penjara.


Jika dikaji, muatan Perda itu menunjukkan bahwa Pemprov nampaknya lebih mementingkan terciptanya ketertiban di Jakarta daripada memikirkan nasib hidup masyarakat miskin. Persoalannya bukan tidak menginginkan ketertiban itu, tetapi lebih pada apakah sebelum membuat Perda itu Pemprov telah menjalankan kewajiban untuk menjamin tersedianya lapangan pekerjaan yang lebih layak? Fakta banyak masyarakat miskin perkotaan yang mengais rezeki di jalanan atau tempat umum lain, menunjukkan bahwa kewajiban tersebut selama ini tidak jalankan.


Bagi masyarakat miskin, mengais rezeki di jalanan atau tempat umum lain agar bisa bertahan hidup adalah pilihan satu-satunya. Sebab, mereka tidak memiliki alternatif lain yang lebih baik. Sementara kebutuhan hidup mereka tidak bisa ditunda-tunda pemenuhannya. Jika mereka bisa memilih, tentu tidak ada yang akan memilih menjadi orang miskin dan mencari nafkah di jalanan. Dengan kata lain, jika terbuka kesempatan lain yang lebih baik dan dapat diakses, tentu mereka tidak akan menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, atau menjadi PSK.


Dalam kerangka ini, sangat tidak bijak melihat apa yang akan dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta itu. Di satu sisi, mereka akan melakukan penertiban paksa terhadap bentuk apapun usaha masyarakat miskin mengais rezeki di jalanan ataupun tempat umum lainnya, namun di sisi lain, mereka tidak melakukan upaya apapun sebelumnya yang memungkinkan masyarakat miskin ini mempunyai alternatif pilihan pekerjaan yang lebih baik guna menyambung hidupnya.


Kebijakan Pemiskinan


Dalam konteks ini, Pemprov DKI Jakarta cenderung menyalahkan masyarakat miskin sebagai faktor penyebab ketidaktertiban di Jakarta. Hal itu misalnya dapat dilihat dari pernyataan Sutiyoso itu sendiri selaku Gubernur DKI, di mana ia mengatakan bahwa Perda Tibum dibuat akibat pengamen dan pengemis overload. Cara pandang ini sekiranya juga tertanam di kalangan anggota DPRD DKI Jakarta yang mengesahkan Perda Tibum. Jelas, mereka tidak bisa membaca akar persoalan sebenarnya.


Upaya menyalahkan masyarakat sebagai biang ketidaktertiban tersebut tentu sangat keliru dan tidak tepat. Jika dikaji, persoalan sesungguhnya terletak pada kegagalan Pemprov itu sendiri dalam menata wilayah dengan baik. Yang lebih penting lagi, karena ketidakmampuan mereka dalam menciptakan peluang-peluang kerja yang lebih baik bagi masyarakatnya.


Jadi, yang seharusnya disorot terkait ketidaktertiban di Jakarta dan banyaknya masyarakat miskin yang mengais rezeki di jalanan, adalah bagaimana Pemprov DKI Jakarta dapat segera menyediakan lapangan pekerjaan yang lebih banyak dan layak bagi masyarakatnya. Sehingga sangat tidak bijak jika persoalan tersebut disalahkan kepada masyarakat miskin dan menghukum mereka seberat-beratnya demi terciptanya ketertiban itu.


Lebih jauh, apakah Pemprov sebelumnya berpikir lebih jauh mengenai konsekuensi yang akan ditimbulkan ketika masyarakat miskin perkotaan yang kini menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan lain-lainnya, setelah mereka dipaksa untuk tidak berlalu-lalang mengais rezeki di jalanan atau tempat umum lain? Mengingat hanya usaha di jalanan itulah yang dapat dilakukan kelompok masyarakat ini dalam upaya mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari mereka.


Dari situ, dapat dilihat bahwa Perda tersebut sebenarnya akan menyebabkan persoalan di Jakarta akan semakin kompleks. Di mana salah satu dampak dari penerapannya adalah munculnya ribuan pengangguran baru di Jakarta.


Sementara bagi kelompok masyarakat miskin perkotaan itu sendiri, penerapan Perda tersebut bagaikan lonceng kematian. Betapa tidak, di tengah kesulitan untuk mengakses sumber penghidupan lain yang lebih layak, Pemprov justru menutup akses terhadap usaha yang digelutinya selama ini. Jelas, upaya Pemprov tersebut merupakan ancaman bagi kehidupan mereka.


Pada akhirnya, penerapan Perda ini akan mempengaruhi kondisi ekonomi kelompok masyarakat miskin di Jakarta. Dengan kata lain, kebijakan itu tidak lebih hanya akan menyebabkan terjadinya degradasi tingkat kesejahteraan ribuan keluarga masyarakat miskin di Jakarta. Sekarang ini saja mereka sudah hidup miskin karena keterbatasan sumber ekonomi. Ditambah dengan kebijakan ini, maka Pemprov sama saja dengan mendorong mereka ke dalam kemiskinan yang semakin luar biasa.


HAM dan Kewajiban Konstitusional


Sudah semestinya Pemprov DKI Jakarta membatalkan rencana penerapan Perda Tibum yang bermasalah itu. Selain tidak akan menyelesaikan persoalan, justru sebaliknya Perda tersebut menimbulkan persoalan lain yang jauh lebih kompleks. Yang harus lebih difokuskan sekarang ini adakah bagaimana menciptakan banyak kesempatan kerja yang lebih layak dan dapat diakses oleh masyarakat miskin perkotaan. Sebab, di sinilah letak persoalan sebenarnya.


Lebih lanjut, jika lapangan kerja yang lebih layak bagi masyarakat miskin ini sudah terpenuhi dan tersedia, maka sudah barang tentu, dengan sendirinya mereka tidak akan mencari nafkah di jalanan atau tempat umum lain tanpa harus menunggu kehadiran Perda Tibum.


Pilihan fokus yang harus dilakukan ini tentu saja selaras dengan apa yang sudah ditegaskan oleh Konstitusi, yakni mengenai kewajiban negara untuk menjamin dan memenuhi hak-hak dasar wargnya. Dalam kaitan itu, Konstitusi secara jelas telah menegaskan bahwa adalah hak setiap orang untuk mendapatkan penghidupan yang layak, hak setiap orang atas kehidupan yang sejahtera, hak setiap orang untuk bekerja. Selain itu, juga ditegaskan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.


Dalam kaitan itu, sebagai hukum tertinggi tentu saja Konstitusi harus ditaati dan menjadi dasar atau rujukan dalam setiap kebijakan yang akan dibuat oleh pemerintah, mulai dari pusat sampai daerah (Pemda). Mengabaikan ketentuan dalam konstitusi sama saja dengan melawan perintah Konstitusi.


Pertanyaannya, kenapa negara (pemerintah) yang menjalankan kewajiban itu dan kenapa bukan si pemilik hak yang mengusahakannya sendiri? Setiap individu memiliki keterbatasan untuk bisa menjamin terpenuhi hak-haknya. Keterbatasan itu antara lain karena individu tidak dapat melakukan upaya-upaya paksa seperti penghukuman, atau pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya seperti ketersediaan jaminan sosial dan sebagainya. Dengan kata lain, individu tidak memiliki otoritas, legitimasi, dan instrumen guna menjamin dan memenuhi itu semua.


Jika individu memilikinya, atau mengupayakan penjaminan dan pemenuhan hak-haknya secara sendiri-sendiri, maka jelas akan menimbulkan persoalan berupa kemungkinan terjadinya kekacauan. Bahkan, bisa saja akan terjadi peperangan antara mereka. Sebab, setiap individu akan menggunakan caranya sendiri-sendiri serta akan memaksakan kehendaknya masing-masing.


Berbeda halnya dengan negara yang memang memiliki itu semuanya. Jadi, di sinilah letak pentingnya negara (pemerintah) yang memikul tanggungjawab dalam upaya menjamin, melindungi dan memenuhi hak asasi setiap warganya.

Tidak ada komentar: