Merubah Pendekatan Keamanan atas Papua

Pasca Aceh meretas jalan perdamaian, maka area implementasi pendekatan keamanan akan bergeser ke wilayah konflik lainnya di Indonesia, terutama Papua yang memiliki karakteristik konflik serupa. Pendekatan ini memang telah digunakan sejak tahun-tahun sebelumnya di Papua, namun akan mengalami peningkatan karena area “permainan” militer di Aceh telah berkurang. Ini adalah suatu prediksi terkait pola penanganan daerah-daerah konflik di Indonesia di masa awal jalannya kekuasaan pemerintahan SBY-Kalla dulu (Lihat Catatan HAM Imparsial Tahun 2005).

Perkembangan terakhir menunjukkan prediksi itu menemukan kebenarannya, di mana penanganan Papua menjadi prioritas kebijakan dibandingkan dengan daerah bergolak lainnya. Kendati demikian, capaian perdamaian di Aceh yang diharapkan dapat memberikan efek positif dalam penanganan daerah konflik lain di Indonesia nampak tidak tertular ke Papua. Jika Aceh menempuh dialog sehingga tercipta perdamaian, namun untuk Papua, pendekatan keamanan masih digunakan sebagai garda terdepan. Sementara aspek lainnya tidak lebih hanya sebatas “hiasan” semata karena cenderung dijalankan setengah hati.

Pendekatan keamanan adalan sebuah pendekatan yang melihat segala persoalan yang terjadi di tengah masyarakat sebagai persoalan keamanan, sehingga harus diselesaikan dengan melalui penegakan keamanan. Padahal tidak semua persoalan di masyarakat tersebut sebagai persoalan keamanan. Karena bisa saja akar persoalannya bersumber pada persoalan ekonomi atau politik. Dalam satu daerah yang terus-menerus bergolak seperti Papua, pendekatan keamanan menempatkan aktor keamanan terutama militer, sebagai aktor utama untuk penyelesaiannya. Maka kemudian dikirimlah sejumlah pasukan ke wilayah bergolak tersebut.

Lebih lanjut, pola inilah yang berlaku di Papua. Dalam perkembangannya, kehadiran militer memang semakin terasa hampir di semua wilayah Papua. Militer bukan hanya dekat tapi sudah berada di tengah masyarakat. Kenyataan ini dapat dilihat dalam dua hal; Pertama, terjadinya pengiriman pasukan TNI dari luar Papua (non-organik) untuk menambah jumlah pasukan yang sudah ada sebelumnya. Sejak awal 2006 misalnya, upaya pengiriman ini begitu intensif dilakukan oleh Mabes TNI. Pada bulan April tercatat ada empat kali pengiriman satuan TNI non-organik secara besar-besaran ke Papua dengan alasan untuk menumpas gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Kedua, terjadinya peningkatan aktivitas militer di wilayah Papua, mulai dari operasi militer terhadap kelompok yang dicap sebagai separatis, sampai aktivitas yang berbau sosial. Operasi keamanan adalah aktivitas yang secara rutin dilakukan dalam konteks pendekatan keamanan. Bentuknya bisa beragam, mulai dari operasi intelijen, operasi penyergapan. Sementara untuk aktivitas yang berbau sosial, hal itu dapat dilihat pada upaya penggalakan program TNI Manunggal Masuk Desa (TMMD) di sejumlah desa di Papua. Prajurit TNI begitu aktif memasuki perkampungan dan membangun sarana sosial seperti membuat, jalan, jembatan, dan lain-lain.

Pelaksanaan program TMMD ini tentunya memiliki maksud dan tujuan sebagaimana di masa Orde Baru yang dikemas dalam program ABRI Masuk Desa (AMD). Kendati bentuknya adalah kegiatan sosial, namun tetap saja itu bagian yang tak terpisahkan dari pendekatan keamanan. Tujuan dari penggalakan program ini antara lain berupaya membangun ketergantungan masyarakat terhadap TNI, dan yang lebih penting lagi, melalui kegiatan tersebut TNI langsung dapat melakukan kontrol terhadap semua sektor kehidupan masyarakat di desa-desa. Jelasnya, TMMD di Papua adalah bentuk lain dari pendeketan keamanan yang berbaju sosial.

Dampak dari Pendekatan Keamanan

Selama ini penggunaan pola pendekatan keamanan dalam menangani sejumlah daerah konflik terbukti tidak berhasil. Pola tersebut bukannya menyelesaikan masalah, malah sebaliknya pola itu semakin memupuk keadaan konflik di daerah sehingga konflik tersebut menahun dan semakin sulit untuk dicarikan penyelesaiannya. Sebab, dalam situasi di mana militer lebih banyak bicara melalui operasi-operasi kemanan, maka cara tersebut tidak lebih hanya menimbulkan persoalan-persoalan bagi masyarakat. Kedamaian bukannya dicapai, melainkan rasa tidak amanlah yang dirasakan oleh masyarakat.

Pengalaman Aceh menjadi contoh terdekat akan kegagalan pendekatan keamanan. Sebaliknya, perdamaian yang kini berjalan di Aceh merupakan suatu pencapain yang diraih tidak melalui pendekatan keamanan. Hal yang sama berlaku untuk wilayah Papua, yang nota bene memiliki tipologi konflik serupa dengan Aceh, yakni konflik vertikal –konflik yang terjadi antara negara dan masyarakat. Di mana model konflik ini bersumber pada ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah sebagai akibat dari kebijakannya yang tidak memihak masyarakat dan ketidakadilan yang secara terus-menerus dialami oleh mereka.

Penggunaan pendekatan keamanan tentu bukan pilihan tepat dalam menangani atau menyelesaikan tipologi konflik seperti itu. Sebab, model pendekatan inilah yang mendorong terjadinya siklus kekerasan dan bencana kemanusiaan yang tidak pernah berakhir. Pasca Aceh berhasil mencapai tahap perdamaian dan memberikan sebuah harapan baru bagi masyarakatnya, semestinya pola pendekatan keamanan sudah harus ditanggalkan. Konflik bukannya berakhir tetapi semakin berakar kuat karena aktor-aktornya bergenerasi. Selain itu, penggunaan pendekatan ini juga berdampak pada terjadinya tragedi kemanusiaan.

Fakta menunjukan penggunaan bahwa pendekatan keamanan di Papua tidak lebih hanya menimbulkan berbagai pelanggaran hak asasi manusia di berbagai tempat. Masyarakat kerap menjadi sasaran ancaman dan tindakan kekerasan oleh prajurit TNI. Dalam kasus masa lalu mislanya, terjadi kasus pembunuhan terhadap Theys Hiyo Eluay Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) oleh Kopassus Tribuana. Sementara hingga sekarang ini, kasus-kasus seperti ancaman pembunuhan, teror, dan kekerasan juga masih banyak terjadi. Dengan terus diintensifkannya pendekatan keamanan, potensi pelanggaran hak asasi manusia akan semakin besar terjadi di Papua.

Menuju Pendekatan yang Lebih Beradab

Pemerintah nampaknya tidak pernah belajar dari kesahalan masa lalu dan capaian perdamaian yang sekarang ini sudah berjalan di Aceh. Berlanjutnya pendekatan keamanan atas Papua mencerminkan kalau pemerintah lebih tunduk pada keinginan militer dalam penyelesaian kasus konflik meskipun biaya yang harus dikeluarkan sangat mahal, seperti pemenuhan anggaran bagi TNI dan dampak kemanusiaan.

Semestinya pemerintah untuk melihat bagaimana persoalan Papua secara sebenarnya. Terjadinya gerakan perjuangan yang diimplementasikan dalam berbagai bentuk oleh masyarakat seharusnya itu dipandang sebagai bentuk koreksi atas kebijakan pemerintah terhadap Papua selama ini. Dalam konteks ini, pemerintah harus menyadari bahwa gejolak di Papua adalah akibat kekeliruan dalam kebijakan yang dibuatnya. Sebab, yang selama ini terjadi Papua adalah ketidakadilan dan peminggiran hak-hak dasar hampir di semua ruang kehidupan masyarakatnya.

Yang menjadi kebutuhan saat ini bagaimana pemerintah bisa mendengarkan dan mengakomodasi suara-suara masyarakat Papua. Adanya kepentingan negara untuk menjaga keutuhan NKRI tidak lantas menjadi dasar mengebiri kepentingan masyarakat. Untuk itu, dibutuhkan sebuah pendekatan yang konstruktif dan lebih beradab sehingga tujuan menyelesaikan persoalan Papua dalam kerangka menjamin terpenuhinya kepentingan masyarakat Papua bisa tercapai. Pendekatan keamanan yang sekarang ini sedang berjalan tidak lebih hanya akan mengakibatkan konflik semakin jauh dari upaya penyelesaian.

Pendekatan yang konstruktif dan lebih beradab ini menempatkan individu warga negara sebagai manusia yang memiliki hak-hak dasar yang dijamin dan dilindungi oleh negara. Sebab, hanya dengan cara inilah setiap individu warga dapat menjadi manusia seutuhnya. Sebuah jalan untuk menuju itu adalah menggunakan mekanisme dialog yang dilakukan secara terbuka antara negara dengan warganya. Jalan ini mengedepankan komunikasi terbuka yang melandaskan pada kejujuran dan keinginan untuk menyelesaikan persoalan Papua dalam kerangka keberpihakan pada masyarakat Papua. Bukan pemilik modal ataupun militer.

Jika dibandingkan pendekatan keamanan yang menggelar pasukan militer secara besar-besaran, jalan dialog ini tidak membutuhkan pengeluaran biaya yang sangat besar. Sebab, yang dibutuhkan dalam pendekatan ini adalah komitmen dan konsistensi pemerintah untuk menjalankannya. Lebih lanjut, dialog tersebut harus melibatkan semua elemen yang ada di Papua tanpa terkecuali. Kendati demikian, satu syarat sebelum menempuh jalan tersebut pemerintah harus membatasi gelar dan aktivitas militer di Papua, yang diwujudkan dengan menarik semua aparat keamanan non-organik dari Papua.

Tulisan ini dimuat di situs fokerlsmpapua.


Tidak ada komentar: